Rabu, 13 Oktober 2010

Kebencian

oleh : Mahiruddin Siregar

Rasa benci adalah manusiawi.

Artinya banyak hal yang membuat seseorang tidak suka terhadap sesuatu. Yang biasa dibenci itu adalah hal-hal yang sifatnya negatif seperti kejahatan, penipuan, penindasan, dll sifat yang bertentangan dengan nilai-nilai keluhuran.

Terhadap hal-hal tersebut diatas semestinya semua orang harus membencinya, jangan menyukainya terlebih lagi jangan sampai ikut melakukannya.

Rasa benci seperti itu adalah positif.

Tetapi kenapa ada gerakan dari sebagian masyarakat yang memusuhi kebencian ?

Itu adalah kebencian yang mengakibatkan pelakunya melampiaskan kebenciannya dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur, sehingga menimbulkan rasa kebencian yang lebih mendalam lagi dari masyarakat yang menyaksikannya, terlebih lagi yang menjadi korban langsung akibat dari kebencian tersebut.

Inilah yang menjadikan kebencian itu menjadi sangat negatif.

Kenapa itu terjadi, karena disini rasa kebencian itu sudah tidak objektif lagi tetapi sudah memasuki subjektifitas.

Yang dibenci bukan perbuatan lagi, tetapi orang, kelompok, suku, ras, negara bahkan agama.

Sehingga yang lebih kental adalah apriori, phobia, dll.

Maka tidak heran banyak terjadi terorisme, anti Barat, Islamiphobia, anti imigran, diskriminasi dll penyakit masyarakat yang sangat membahayakan perdamaian dunia.

Padahal Allah SWT telah memerintahkan agar kita tetap berlaku adil terhadap satu kaum, meskipun kita membenci perbuatan mereka.

Jika saja kita tetap konsisten melaksanakan perintah ini maka kebencian yang negatif tersebut diatas akan terkikis dari perilaku manusia.

Oleh karena itu mari tetap kita bersatu membasmi sifat-sifat negatif yang bertentangan dengan rasa keadilan dan nilai-nilai luhur kemanusiaan, termasuk kebencian subjektif yang membabi buta, demi keamanan dan kedamaian dunia.

Menghindari timbulnya bibit-bibit kebencian secara prefentif jauh lebih baik daripada menghentikan pertikaian antar umat akibat timbulnya kebencian masing-masing.

Senin, 09 Agustus 2010

"Tanpa Redenominasi Rupiah Jadi Mainan"

Hadi Suprapto, Anggi Kusumadewi

VIVAnews - The Indonesian Economic Intelligence (IEI) menilai bahwa kebijakan menyederhanakan nominal rupiah atau redenominasi yang baru-baru ini diwacanakan oleh Bank Indonesia, perlu untuk diambil.

"Redenominasi penting dilakukan karena nilai tukar rupiah terus menurun," ujar Ekonom Kepala IEI Sunarsip, di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu 8 Agustus 2010.

Nilai tukar rupiah terus menurun, baik karena depresiasi (penurunan secara natural) maupun devaluasi (penurunan akibat kebijakan). Dengan demikian, mata uang rupiah relatif kurang memiliki kemampuan untuk melakukan apresiasi.

Nilai tukar rupiah, menurut Sunarsip, tidak kompetitif dibandingkan dengan mata uang negara-negara lain. Kondisi tersebut menyebabkan rupiah mudah dikalahkan oleh kekuatan mata uang negara lain. Rupiah bahkan kerapkali dimanfaatkan oleh para spekulator untuk melakukan transaksi carry trade.

"Artinya, spekulator seringkali memanfaatkan selisih atau disparitas nilai mata uang antara valas dengan rupiah, untuk mengambil keuntungan dari transaksi perdagangan valas. Dengan kata lain, mata uang kita jadi mainan," terang Sunarsip.

Ia mengingatkan, tren yang berlangsung selama ini adalah, apabila nilai suatu mata uang semakin melemah, maka ia cenderung akan terus melemah. "Lihat saja di Zimbabwe, sampai-sampai ada selembar uang berniat 1 triliun," kata Sunarsip.

Sunarsip juga menyatakan, selain bertujuan untuk penyederhanaan dalam pencatatan, redenominasi secara psikologis ekonomi juga dapat meningkatkan bargaining position (posisi tawar) nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya.

IEI berpendapat, masyarakat tidak perlu khawatir dengan redenominasi karena kebijakan itu tidak menaikkan atau menurunkan pendapatan maupun harga barang. "Redenominasi adalah kebijakan penyesuaian, baik dari sisi moneter (mata uang) maupun dari sisi riil (harga barang). Jadi, penyesuaian tidak hanya dari satu sisi, sehingga tidak ada yang dirugikan di sini," jelas Sunarsip.

"Redenominasi bukan sanering seperti yang dilakukan Indonesia pada masa Orde Lama tahun 1960-an," tandasnya. Sanering berbeda dengan redenominasi, karena sanering adalah pemotongan nilai mata uang tanpa diimbangi penyesuaian nilai riil (harga barang).

"Jadi uang Rp1.000 menjadi senilai Rp1, padahal harga barang tetap dan tidak ikut diturunkan. Iitulah sanering," ujar Sunarsip. Oleh karena itu, katanya, tak heran apabila saat itu banyak orang Indonesia yang mendadak kaya dan mendadak miskin. "Dalam sanering, mereka yang mempunyai banyak simpanan di bank akan miskin mendadak, sedangkan mereka yang memiliki banyak simpanan emas, akan kaya mendadak," jelasnya.

Sementara redenominasi tidak demikian, karena perubahan nilai mata uang diikuti dengan perubahan harga barang. "Intinya, tidak ada perubahan apapun dalam redenominasi. Tidak perlu khawatir akan adanya kenaikan atau penurunan harga barang, maupun penurunan tingkat pendapatan," tutur Sunarsip. (hs)
• VIVAnews

Rabu, 04 Agustus 2010

BI Melaju dengan Redenominasi

Oleh Palupi Annisa Auliani

Bank Indonesia (BI) ternyata serius dengan wacana penyederhanaan penulisan mata uang (redenominasi) yang pernah disampaikan dua bulan lalu. Usulan untuk menghapus tiga angka nol dari uang rupiah itu segera disampaikan ke Presiden dan DPR. Hasil kajian yang telah dilakukan selama enam tahun terakhir ini dijadwalkan mulai diimplementasikan pada 2013 dan rampung 2020.

Deputi Gubernur BI Budi Rochadi mengatakan, usulan ini akan diajukan ke Presiden dalam dua bulan ke depan. Bisa saja usulan ini disandingkan dengan pembahasan RUU Mata Uang yang kini bergulir di DPR. Keputusan redenominasi memang bukan hanya keputusan ekonomi, melainkan sudah masuk ranah politik. "Tugas BI adalah menyiapkan programnya. Keputusannya tak hanya di BI, tapi juga di Presiden dan harus dilengkapi peraturan perundang-undangan (melibatkan DPR)," kata Budi, Selasa (3/8).

Bagi negara yang berkembang, inflasi yang tinggi membuat nilai uang terhadap barang semakin luntur dalam waktu cepat. Akibatnya, dibutuhkan transaksi dengan uang kertas yang nilainya semakin besar. Bila 25 tahun lalu nilai terbesar uang rupiah masih Rp 10 ribu, kini sudah Rp 100 ribu. Dikhawatirkan tak lama lagi bank sentral harus mengeluarkan uang rupiah berdenominasi Rp 200 ribu dan Rp 500 ribu.

Saat ini, mata uang dengan denominasi terbesar dipegang Dong Vietnam dengan nilai 500 ribu. Semakin besarnya angka yang dituliskan dalam uang rupiah dinilai tak praktis dan membingungkan. Karena itu, BI pun memunculkan wacana agar tiga angka nol dihapus sehingga Rp 1.000 uang sekarang nantinya cukup dituliskan Rp 1 uang baru dengan nilai dan daya beli yang sama.

Pjs Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan, redenominasi harus dilakukan untuk mengatasi inefisiensi dalam transaksi dan pencatatannya, baik untuk pembayaran tunai maupun nontunai. "Sebenarnya soal teknis, soal digit angka transaksi berlangsung, semakin lama semakin merepotkan di kegiatan ekonomi kita," kata Darmin.

Pencatatan pembukuan semakin mahal biayanya dan semakin lama aplikasi maupun infrastrukturnya. Darmin mencontohkan, pencatatan pendapatan domestik bruto akan bermasalah jika sudah tembus Rp 10 ribu triliun dengan denominasi saat ini. Peralatan hitung akan kesulitan mengakomodasi jumlah digit sebanyak itu.

Makanya, mumpung belum terlalu repot BI berpendapat saat ini adalah waktu yang tepat untuk menggulirkan rencana redenominasi. "BI melihat ini sudah momennya untuk dibicarakan, karena ini proses sangat panjang. (Dan sekarang) pertumbuhan ekonomi sangat baik, walau inflasi sedang naik tapi masih terkendali," kata Darmin.

Wacana redenominasi sudah berada di tahap finalisasi riset dan studi yang diharapkan rampung tahun ini. Menurut Darmin, redenominasi ini untuk mengantisipasi kondisi tujuh sampai 10 tahun ke depan. Prosesnya butuh waktu lama. Turki, misalnya, berhasil melakukan redenominasi dalam waktu 10 tahun.

BI pun sudah menyiapkan rancangan penjadwalan rangkaian proses redenominasi ini. Setelah selesai persiapan dan studi, tahun 2011 dan 2012 adalah masa sosialisasi, serta persiapan sistem akuntansi dan pencatatan. Darmin optimistis dua tahun mencukupi untuk ketiga hal itu. Setelah itu, mulai 2013 masa transisi redenominasi dimulai.

Dalam fase transisi ini, uang baru dengan denominasi yang lebih sederhana akan mulai beredar bersama uang lama. Transaksi bisa dilakukan dengan dua jenis uang atau bahkan campuran keduanya. Maka, setiap toko harus membuat dua label harga untuk setiap barang, dengan denominasi uang lama dan uang baru. Misalnya, harga suatu barang Rp 10 ribu harus dituliskan label Rp 10 untuk uang baru dan Rp 10 ribu untuk uang lama.

BI memperkirakan, masa transisi akan berlangsung tiga tahun dari 2013-2015. Kemudian, selama dua tahun dari 2016 sampai menjelang 2018 akan dilakukan penarikan uang lama. "Penarikan selesai 2018. Tahap terakhir 2019-2021, tapi saya pikir 2020 cukup, mulai dihilangkan tulisan 'rupiah baru'. Langsung ditulis rupiah, tapi dengan nilai yang lebih tinggi," kata Darmin.

Penarikan uang akan dilakukan secara alamiah karena BI juga tak ingin jumlah uang yang beredar di masyarakat terlalu besar. Uang rusak masuk ke BI diganti dengan uang baru sampai lama-lama uang lama habis.

Rencana BI ini tak pelak membuat pemerintah langsung bereaksi untuk meredam dampaknya, khawatir masyarakat akan resah karena teringat praktik sanering (pemotongan uang) tahun 1952, 1959, dan 1966. Ketika itu sanering tak hanya sekadar menyederhanakan penulisan mata uang, tapi juga sekaligus memangkas nilainya. Dua sanering pertama memangkas nilai uang menjadi setengahnya, sanering terakhir menyunat nilai uang tinggal seperseribu.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa menegaskan bahwa pemerintah belum mempunyai rencana untuk redenominasi seperti diwacanakan oleh BI. Menurut Hatta, ada pandangan di mata masyarakat kebijakan ini serupa dengan sanering. Padahal, redenominasi sangat berbeda dengan sanering. "Kalau ini menjadi wacana di BI bisa saja, tapi wacana yang dikembangkan bukan berarti segera akan dijalankan, karena pemerintah tidak mempunyai rencana seperti itu," ujar Hatta.

Wakil Presiden Boediono meminta masyarakat tidak perlu panik dan terpengaruh oleh hasil studi BI tersebut. "Karena statusnya hanyalah sebagai studi, dan tadi studi itu saya cek lagi. Memang berlanjut tapi belum selesai," kata Boediono seusai bertemu Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Agus Martowardojo.

Seluruh hasil studi tersebut akan dibahas pemerintah dengan mengambil masukan dari publik sampai ada hasil definitif. Boediono juga mengingatkan, redenominasi memang dilakukan ketika ekonomi sedang baik seperti saat ini, bukan saat ekonomi memburuk seperti peristiwa sanering di masa lalu. "Tetapi sekali lagi statusnya adalah studi. Sekarang yang penting jaga suasana kestabilan dan ketenangan, tidak usah terpengaruh oleh hasil studi. Prosesnya akan panjang untuk menjadi sebuah kebijakan," tegas Boediono.
teguh firmansyah/yasmina hasni ed: rahmad budi harto
(www.republika.co.id)

Kamis, 15 Juli 2010

Dapatkah Kita Menjadi Lebih Sabar?

Ternyata dampak kenaikan tarif dasar listrik (TDL) mempunyai efek yang sangat luas bagi masyarakat. Bukan hanya adanya kenaikan harga-harga kebutuhan bahan pokok, tetapi juga merosot tingkat daya beli masyarakat, serta inflasi yang menggerogoti kemampuan masyarakat secara luas. Rakyat tidak banyak mempunyai pilihan atas keputusan kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini.

Kalangan pengusaha yang tergabung dalam Assosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, kenaikan TDL, sangat memukul para pengusaha, termasuk usaha kecil dan menengah (UKM). Di mana awalnya antara pengusaha dan pemerintah menyepakati kenaikan TDL kisarannya hanyalah 10-15 persen, tetapi kenyataannya antara 11-80 persen. Dampak kenaikan TDL ini akan semakin membebani kehidupan para pekerja, petani, nelayan, dan masyarakat dengan penghasilan yang kecil (marginal). Mereka akan semakin terpuruk dengan kenaikan TDL ini.

Penghasilan buruh, yang rata dibawah Rp 1, 500.000 itu, pasti tidak akan dapat menghadapi berbagai kenaikan harga, yang merupakan akibat dari kenaikan TDL. Rata-rata para pekerja di pabrik, para buruh tani, nelayan, dan masyarakat marginal, hidupnya akan semakin tergerus dengan adanya keputusan pemerintah yang menaikkan TDL. Keputusan yang sudah disepakati antara pemerintah dengan DPR. Inilah sebuah malapetaka bagi kehidupan rakyat, yang terus menerus di dera dengan kenaikan-kenaikan.

Selain adanya kenaikan TDL ini, sebentar lagi, pemerintah juga akan menaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang tujuannya untukmengurangi subsidi. Pemerintah bertujuan mengurangi subsidi secara drastis. Karena, subsidi bertentangan dengan konsep ekonomi kapitalis. Dengan kenaikan BBM ini, lebih-lebih akan semakin terpuruknya kehidupan rakyat secara luas. Mereka akan semakin tidak mampu menghadapi tingkat hidup dengan beban, yang semakin berat.

Tentu, skenario yang paling buruk adalah kemungkinan banyaknya perusahaan yang bangkrut, akibat dari kenaikan TDL dan BBM,yang dampaknya akan terjadi PHK terhadap jutaan kaum buruh, yang sekarang ini menggantungkan hidup mereka bekerja di sektor perusahaan. Sementara itu, perusahaan yang ada terpukul akibat kenaikan TDL yang sudah berlangsung sejak 12 Juli lalu.

Pemerintah belum dapat mengurangi pengangguran yang setiap tahunnya, angka-angka pengangguran terus bertambah, dan ditambah dengan adanya kondisi perusahaan yang ada mengalami kebangkrutan dan kemudian menutup usaha mereka. Pasti ini akan mengakibatkan adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang akan dilakukan perusahaan. Sebuah skenario yang sangat buruk bagi kehidupan bangsa Indonesia dan masa depan mereka.

Di bulan Juli dan Agustus ini, para orang tua, juga dihadapkan tahun ajaran baru di semua tingkatan, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Semuanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Sementara itu, para orang tua, yang dari kalangan marginal, jangankan memikirkan biaya sekolah, menghadapi kebutuhan untuk mempertahankan hidup sehari-hari mereka sudah sangat pahit. Tidak mungkin mereka dapat menjalani kehidupan mereka. Termasuk memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka dengan kondisi ini. Mereka akan semakin jauh dari harapan untuk dapat hidup layak, dan dapat memberikan pendidikan kepada anak-anak mereka, karena kondisi yang mereka hadapi akibat kebijakan pemerintah terus mereduksi (menggeroroti) kemampuan mereka untuk dapat bertahan hidup. Semakin hari seperti seakan-akan pemerintah ini sudah tidak mampu melindungi dan memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Jumlah orang miskin yang berhasil diangkat menjadi nol, karena munculnya orang miskin baru, yang jumlahnya jauh lebih besar lagi. Semuanya itu karena adanya kenaikan harga-harga, yang pemerintah tindak dapat mengendalikannya. Semuanya diserahkan kepada mekanisme pasar, dan pemerintah tidak mampu melakukan interv ensi. Inilah hukum pasar,yang menjadi ‘credo’ (aqidah) ekonomi kapitalis. Semuanya diserahkan kepada pasar. Karena itu, yang akan menikmati dari kebangkrutan rakyat miskin, tak lain kaum pemilik modal, yang semakin kaya,karena mereka menguasai jaringan ekonomi, yang sudah menjadi sebuah kartel.

Seharusnya Indonesia sudah memiliki sistem jaminan sosial yang dapat melindungi kelompok masyarakat miskin. Seperti bantuan bagi kaum miskin, para penganggur, pensiunan, dan jaminan kesehatan.

Dan, berdasarkan konstitusi mengeyahkan kemiskinan itu, merupakan tujuan dari kemerdekaan. Kenyataannya sejak Indonesia merdeka, tahun 1945, hingga kini, bukan semakin baik, hakikat kehidupan rakyat Indonesia, tetapi semakin jauh dari cita-cita yang ingin diwujudkan sebagai sebuah entitas bangsa yang merdeka dan berdaulat. Masih dapatkah kita bersabar? Wallahu’alam.
(www.eramuslim.com)

Bumi Alami Kepunahan Tiap 27 Juta Tahun


Ellyzar Zachra PB

INILAH.COM, Jakarta- Perhitungan terbaru ilmuwan mendapati kehidupan di bumi mengalami kepunahan setiap 27 juta tahun. Lalu kapan kepunahan itu akan terjadi lagi?

Selama kurun waktu 500 juta tahun terakhir, menurut Adrian Melott, seorang astrofisikawan di University of Kansas, bersama dengan Richard Bambach, seorang ahli paleontologi di Smithsonian Institute, kepunahan terjadi tiap 27 juta tahun.

Matahari memiliki tetangga yang besar dan gelap di mana mengorbit setiap 27 juta tahun. Hujan komet bisa keluar dari awan Oort di pinggiran sistem matahari dan akan menabrak Bumi.

Hipotetis ini disebut "Nemesis". Namun, periode kepunahan dan skala waktu yang mereka ukur bisa jadi berlebihan karena hampir 2 kali jumlah yang disebutkan studi sebelumnya.

Hal ini disebabkan dalam lingkup 500 juta tahun terakhir, matahari telah berada di posisi yang begitu dekat dengan bintang lainnya.

Sistem gravitasi telah menekan bintang untuk terkena dampak dari orbit Nemesis, sehingga menjadi siklus 27 juta tahun. Titik puncak ini bisa melambat sekitar 20% jika terjadi perubahan dengan aeon atau puncak siklus.

Bagaimanapun, tidak ada alasan untuk panik terlalu dini. Dengan jangka waktu persiapan 10 juta tahun, maka kita memiliki waktu yang cukup untuk melakukan.[ito]

Selasa, 13 Juli 2010

Survei BI Ungkap Bank Tebang Pilih Salurkan Kredit


Senin, 12 Juli 2010 18:03

Rilis survey Bank Indonesia (BI) pada Jumat (9/7) mengungkapkan bahwa, kalangan perbankan masih tebang pilih dalam menyalurkan kredit ke sektor riil. Terdapat sector-sektor tertentu yang dihindari oleh bank dalam menyalurkan kredit mereka, misalnya pada sektor industri tekstil dan garmen atau produk teksti (TPT).

Para bankir beralasan permintaan asing terhadap TPT dari Indonesia yang masih lemah. Persaingan yang tinggi dengan produk tekstil impor juga membuat risiko pembiayaan ikut melonjak.

Padahal survei kuartal itu bilang, bankir optimistis penyaluran kredit di kuartal III 2010 ini bakal terus meningkat meski sedikit melambat dari kuartal sebelumnya. Ini diperkuat oleh BI dalam pernyataannya bahwa, Mayoritas responden, yakni 13 bank dengan bobot 45,6% memperkirakan pertumbuhan kredit baru di kuartal tiga 2010 berkisar 4%-6%.

Optimisme tersebut dilandasi oleh beberapa hal yaitu, pertama, sampai saat ini rasio kecukupan modal bank masih baik. Kedua, peningkatan kualitas portofolio kredit dan likuiditas perbankan yang berlebih juga menjadi alasan utama. Juga, Kemampuan nasabah membayar meningkat dan informasi keuangan dari debitur baru serta jenis usaha feasible menjadi alasan eksternal utama yang mendukung ekspektasi tersebut.

Untuk jenis kredit, bankir memperkirakan penyumbang terbesar masih kredit investasi. Sayangnya, beberapa sektor masih masuk daftar yang dihindari. Salah satunya, sektor TPT. Toh, bankir menjamin itu bukan harga mati.

Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) Sofyan Basir menuturkan, sektor tekstil tidak sepenuhnya dicoret dari daftar. Hanya saja, pihaknya akan lebih selektif memilih debitur. Serta menurutnya itu berlaku untuk semua sector.

BI mengatakan, kredit konsumsi masih akan menjadi yang tertinggi untuk permintaan kredit baru. Penyumbang terbesar kredit pemilikan rumah dan apartemen (KPR/KPA), lalu diikuti kredit multiguna.

Secara ringkas, survei tersebut menyebutkan, bank dengan penguasaan pasar kredit mencapai 91,8% memperkirakan kredit kuartal III 2010 bakal bertumbuh 5,2% hingga 5,6% (quarter to quarter). Sedangkan perkiraan pertumbuhan kredit di tahun 2010, menurut hasil survei tersebut bisa mencapai 19,7% hingga 21,4%.


Suryo Saputro (suryo@wartaekonomi.com)

Selasa, 29 Juni 2010

Saham Sektor CPO Masih Gurih?


9/06/2010 - 09:51
Susan Silaban


INILAH.COM, Jakarta - Indonesia memiliki delapan perusahaan CPO yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Kinerjanya pun terus melejit. Namun apakah saham CPO ini masih ‘gurih’?

Kedelapan emiten CPO kini bisa menjadi pilihan pelaku pasar modal. Seperti PT Astra Agro Lestari (AALI), PT Gozco Plantations (GZCO), PT London Sumatera (LSIP), PT Sampoerna Agro (SGRO), PT Smart (SMAR), PT Tunas Baru Lampung (TBLA), PT Bakrie Sumatra (UNSP), dan PT BW Plantation (BWPT).

Analis saham independen, Teguh Hidayat menguraikan kebanyakan dari perusahaan-perusahaan tersebut hanya merupakan ‘pekerjaan sambilan’ dari grup-grup konglomerasi yang memang bergerak di banyak bidang dan sektor.

Meski bukan merupakan perusahaan yang ‘serius’, diakuinya CPO merupakan salah satu sektor paling penting di Indonesia. Pada akhirnya perusahaan-perusahaan CPO tersebut memiliki nilai aset yang cukup besar.

Pada laporan keuangan kuartal pertama 2010, rata-rata aset mereka adalah Rp5,5 triliun. UNSP menjadi perusahaan paling besar dengan aset Rp12,5 trilun, dan yang terkecil adalah BWPT dengan aset Rp1,6 triliun. Nilai aset UNSP pada kuartal pertama 2009 sebenarnya cuma Rp4,8 triliun.

“Penambahan aset dari utang obligasi dan tambahan modal membuat UNSP menggeser SMAR sebagai perusahaan CPO terbesar di Indonesia jika dilihat dari asetnya,” telisik Teguh kepada INILAH.COM, Senin (28/6).

Pada kuartal I 2010, SMAR mencatat nilai aset Rp9,7 triliun, turun 5,1% dari periode yang sama 2009 sebesar Rp10,2 triliun. Kenaikan laba operasi terbesar adalah SMAR dengan 164,0% sekaligus mencetak kenaikan laba bersih terbesar sekitar 5947,4% atau hampir 60 kali lipat.

Perusahaan yang mencatat kenaikan penjualan terbesar adalah SGRO dengan 93,7%. Jika dilihat dari kenaikan kinerjanya, SGRO adalah yang paling pesat dengan mencatat kenaikan penjualan 93,7%, laba operasional menguat 116,8%, dan laba bersih melonjak 219,4%.

AALI mencatat price earning ratio (PER) 31,6 kali atau terbesar di sektor CPO dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp34,3 triliun. “Harga wajarnya kalau dilihat dari fundamentalnya sebenarnya cuma Rp15.000-17.000, meski kalau dilihat dari sisi teknis, AALI layak berada pada posisi di atas Rp20.000,” prediksinya.

“Beberapa perusahaan seperti GZCO, TBLA, dan BWPT, sebenarnya mengalami penurunan penjualan, termasuk laba operasional mereka juga turun,” imbuhnya.

Namun, pendapatan di luar operasional seperti dari bagian perusahaan asosiasi, keuntungan kurs, hingga penurunan bunga pinjaman, membuat ketiga perusahaan tersebut tetap mencatat kenaikan laba bersih yang signifikan.

UNSP adalah satu-satunya perusahaan CPO yang mencatat kerugian pada kuartal I 2009 silam sebesar Rp130 miliar. Namun pada kuartal I tahun ini, mereka berhasil mencatat laba bersih meski cuma Rp64 miliar.

Jika dilihat dari perbandingan laba bersih dengan nilai aset dan ekuitasnya, SMAR yang mencatat laba bersih Rp439 miliar merupakan perusahaan CPO yang paling menguntungkan dengan return on assets (RoA) 18,1%, dan return on equity (RoE) 33,6%. Sedangkan UNSP adalah yang paling tidak menguntungkan dengan RoA 2,1%, dan RoE 3,4%.

Sedangkan saham TBLA adalah pilihan terakhir. Mempertimbangkan nilai PER-nya yang baru 9,2 kali, kapitalisasi pasar hanya 1,7 kali nilai ekuitasnya, dan kenaikan laba bersih sebesar 96,7%.

Secara keseluruhan, penjualan kedelapan perusahaan CPO pada kuartal I-2010 naik 21,8% dibandingkan kuartal yang sama 2009. Laba operasional naik 63,1%, dan laba bersih naik 287,3%.

“Kesimpulannya, pada kuartal I-2010 ini sektor CPO menunjukkan kenaikan kinerja yang lumayan. Semua perusahaan mencatat kenaikan laba bersih dan juga kenaikan nilai ekuitas,” urainya. [mdr]